Desember 18, 2008

Agamaku

BERISLAM DALAM ”KETERBATASAN” YANG KITA MILIKI


Alloh SWT berfirman : ” Bertaqwalah kepada Alloh menurut ukuran kemampuanmu ” (QS. At-Taghabun:16).
Ini berarti bahwa Alloh mengetahui keterbatasan kita sebagai manusia dan dalam keterbatasan itulah Ia ingin kita berislam. Nabi Muhammad SAW bersabda, ” Alloh merahmatti seseorang yang menegtahui kadar kemampuan dirinya. ” Dengan menegtahui kadar kemampuan diri sendiri, kita bisa memposisikan diri secara tepat dalam berbagai situasi kehidupan.
Perintah-perintah dalam Islam begitu banyak , seperti menuntut ilmu, beribadah, ibadah mahdhah, belajar, berjihad dan sebagainya. Tidak semua perintah dapat kita lakuakan dengan cara yang expert, sempurna. Oleh karena itu di surga disediakan banyak pintu, salah satunya adalah pintu ibadah shalat, zakat, haji, dan seterusnya. Dan karena batas kemampuan itulah mengharuskan kita untuk memilih fokus tertentu dalam kehidupan kita.
Dalam suatu dialog antara Abu Bakar dan Rasulullah, Beliau mengatakan bahwa sesungguhnya di suraga itu ada banyak pintu dan setiap orang nanti ada yang msuk melalui pintu shalat, puasa dan sebagainya. Kemudian Abu Bakar bertanya, ”Adakah orang yang masuk melalui semua pintu itu?” Rasulullah menjawab, ”Ada, dan aku berharap kamu adalah salah seorang di antaranya.”
Jadi setiap manusia memiliki 2 ciri keterbatasan :
1.Sifat parsial (artinya kita tidak bisa memiliki/menguasai segala bidang)
2.Dalam lingkar yang sangat parsial itu kemampuan kita juga terbatas. Misalnya dalam bidang kedokteran, kita memiliki kelebihan dibanding lainnya, namun kita pun tetap saja terbats dalam penguasaan bidang kedokteran itu.

Dalam konteks keterbatasan itulah Alloh mengatakan dalam QS.Al Baqarah 2:286, ” Alloh tidak membebani seseorang melainkan sesuai kesanggupannya,” Hanya saja ibadah-ibadah yang sudah tetap waktu dan kapasitasnya seperti shalat lima waktu, Alloh telah mengukur kemampuan manusia dan pada dasarnya manusia memang sanggup melakukannya. Sebab semua perintah yang sifatnya wajib khususnya fardhu ’ain dan waktunya sudah ditentukan, dalam perhitungan Alloh pasti manusia bisa melakukannya. Oleh karena iru perintah-perintah dibuat dalam urutan-urutannya.
Sabda Rasululloh di atas berguna bagi kita untuk :
1.Menentukan fokus-fokus nilai Islam yang akan diperkuat
2.Memahami diri kita dan membantu dalam menentukan posisi kehidupan sosial.

Kesalahan orang dalam bergaul adalah karena ketidakmampuan dalam memposiskan dirinya dalam kehidupan sosial. Ini merupakan kesalahan umum. Jadi dengan demikian memahami keterbatasan diri adalah bagian dari perintah Islam.
Kesan yang ada selama ini dalam benak orang-orang muslim adalah semua urusan pengembangan diri adalah urusan psikologi dan sekolah pengembangan diri. Padahal, justru Islam sangat menganjurkan dan menekankan masalah ini pada awlnya. Karena itu ada yang menarik pada sejarah Islam. Umar memiliki fisik yang besar, jago berkelahi dan perang, tetapi tidak pernah sekalipun ditunjuk menjadi pemimpin perang. Usamah yang berusia 16 tahun pernah ditugaskan memimpin perang. Mengapa? Karena Umar tidak hanya bisa memimpin pasukan perang tapi juga negara, dan untuk itulah ia disiapkan.
Jadi orang yang memiliki kualiatas A jangan diberi tugas B. Jika kita memilki kualitas B, yang akan dipertanggungjawabkan kepada Alloh adalah apakah kita benar-benar mencapai kualitas B itu dengan baik? Alloh tidak akan menuntut kita untuk mencapai kualitas A. Tetapi jika kita mempunyai kualitas A, tapi hasilnya B, maka selisih A dan B hasilnya dosa. Dan masalahnya sekarang adlah bagaimana mengetahui bahwa ada selisih antara kualitas A dan B?

KONSEP DIRI MUSLIM
Kepribadian kita sebagai wadah dan konsep islamlah yang mengisinya.
Mengapa kita perlu mengenal konsep diri? Lihat kembali ayat QS. At-Taghabun :16. Di sana terbukti bahwa potensi manusia itu terbatas, dan kita harus berislam dalam keterbatasan itu. Kemudian Rasulullah SAW juga telah mengeluarkan sabdanya di atas. Artinya konsep diri akan membantu kita dalam memposisikan dalam kehidupan sosial. Konsep diri juga membantu kita untuk bersifat tawadhu. Tawadhu berarti kemampuan memposisikan diri sewajarnya. Bukan berarti tawadhu itu bahwa kita tidak memilki apa-apa. Konsep diri juga merupakan salah satu langkah untuk menyerap Islam ke dalam diri. Ada 3 langkah dalam menyerap Islam, yaitu :
a.Memiliki konsep diri yang jelas
b.Memahami Islam sebagai pengisi wadah tersebut
c.Melakukan pengadaptasian antara konsep diri dengan konsep Islam.

Menurut Ibnul Qayyim ada 2 pengetahuan terpenting dalam pengenalan diri yaitu : Ma’rifatullah dan Ma’rifatunnafs. Maksudnya, mengetahui Alloh berarti menegatahui tujuan hidup; mengetahui diri sendiri berarti mengantar bagaimana sampai ke tujuan.

TINGKATAN KONSEP DIRI
1.Aku Diri : Aku seperti yang aku pahami
Itu adalah cara kita mempersepsi diri. Setiap kita memiliki pemahaman seperti itu adanya. Ada pemahaman yang terbentuk secara tidak sadar, tetapi setiap kita mengetahui bahwa kita itu seperti yang kita pahami.



2.Aku Sosial : Aku seperti yang dipahami o leh orang lain yang ada di sekitar aku

Cara orang memahami kita juga mempengaruhi diri sendiri. Contohnya, ada seorang anak usia 2 tahun yang sedang balajar menghafal kata, mengucapkannya, dan meniru-nirukannya. Anak belajar dengan cara trial and error. Akan tetapi cara anak memperbaiki kesalahannya selalu dipengaruhi komentar orang-orang di sekelilingnya (ada yang menertwakan, memperbaiki, memarahinya dll). Perlakuan seperti ini akan mempengaruhi perkembangan anak dan secara perlahan-lahan akan emempengaruhi persepsi anak tentang dirinya.

3.Aku Ideal :Aku yang aku inginkan

Ada orang yang begitu kuat keyakinan tentang aku idealnya. Aku idealnya yang tidak memiliki korelasi yang kuat dengan aku diri disebut sebagai pemimpi. Contohnya, Ada seorang teman yang lamarannya berkali-kali ditolak. Alasannya sederhana, mungkin pihak perempuannya tidak senang dengan dia. Tetapi dia ngotot bahwa jika ia akan menikah maka keempat kriteria mesti ada. Akhirnya sampai sekarang dia belum menikah.
Kadang-kadang orang memiliki sofat yang terlalu ideal karena tidak mendasari aku idealnya dengan aku dirinya. Atau karena tidak mengetahui subjek apa yang ada dalam aku diri ini untuk di-upgrade menjadi aku ideal. Ada juaga orang yang hanya punya aku diri, tidak punya aku ideal. Saya adalah saya, ya begini saja....., saya hanya ingin jadi orang biasa-biasa saja. Akhirnya jadilah ia orang yang biasa-biasa saja.


Kumulasi dari ketiga itulah yang membentuk cara kita memahami diri. Ada orang yang kuat aku dirinya atau kuat aku sosialnya. Islam mengajari prinsip keseimbangan. Jadi yang menentukan adalah model manusia muslim yang kita inginkan sebagai aku idealnya.
Boleh jadi orang under estimate kepada kita sehingga muncul perlakuan yang menonjol, agak sok dari orang itu terhadap kita. Boleh jadi orang over estimate tentang kita, menyangka kita lebih banyak memiliki, lebih baik dari dia. Sehingga muncul sikap melebih-lebihkan kita.
Oleh karena itu kita bisa salah mengenali diri kita dan kita pun bisa salah mengenali orang lain. Di sini dikenal satu prinsip bahwa proses pengenalan diri kita berlangsung secara perlahan-lahan, tidak ada orang yang mengetahui dirinya sekaligus sempurna. Ini karena konsep diri merupakan proses yang fluktuatif dan berubah-ubah. Misalnya ingin mengetahui apakah kita cerdas atau tidak. Kita tidak bisa membuktikan kecerdasan semata-mata dengan IP tinggi. Sebab para ahli mengatakan bahwa hubungan kecerdasan dengan hasil hanya 0,4 %.
Jadi proses pengenalan diri seseorang tidak terjadi secara sekaligus tetapi perlahan-lahan. Untuk itulah dalam proses yang bertahap itu dibutuhkan kesadaran yang berkesinambungan dan proses analisa diri yang terus berlanjut.

STANDARDISASI
Aku diri dan aku sosial adalah variabel, sedangkan standarnya adalah nilai Islam. Ini harus dijadikan standar dan yang membimbing diri kita. Oleh karena itu tingkatan diri yang paling ideal adalah saat pengaptasian antara diri kita dengan nilai itu semakin klop. Itu yang harus kita usahakan.

Aku diri : pemahaman diri yang efeknya memberikan ketenangan karena kita memahami diri kita.
Aku sosial : memberikan rasa penerimaan, apakah kita diterima dalam kehidupan sosial atau tidak.
Aku ideal : bagaimana kita menjadi benar
Kadang ketika kita melakukan sebuah nilai Islam, kita tidak diterima secara sosial. Ini bukan satu kesalahan yang perlu membuat kita minder. Contohnya saat mulai berjilbab, orang–orang sekitar mempersepsikannya sebagai sebuah keterbelakangan. Tetapi setelah banyak wanita berjilbab berprestasi tinggi di suatu instansi, perlahan-lahan persepsi itu hilang. Oleh karena itu selalu ada tarik-menarik antara aku diri dan aku sosial. Jika kita terlalu kuat pada aku sosial, kita dapat menjadi penjilat. Bila kita terlalu kuat pada aku diri, kita akan sulit bekerja sama. Yang membuat kedua-duanya seimbang adalah aku ideal.

Dengan mengetahui konsep diri yang jelas kita akan mengetahui secara terokus apa yang dapat kita kontribusikan. Dengan konsep diri kita akan mengetahui sejauh mana kita mempunyai arah atau tidak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kasih comment key !!!!!