Januari 23, 2009

Persiapan UN

Sebentar lagi siswa-siswi SMA dan MA di negeri kita akan menghadapai ujian nasional alias UN. Untuk itu tentu mereka perlu belajar dengan “keras” agar lulus. Ya, mereka perlu belajar “keras” memahami kembali segala materi yang sudah dipelajari sejak kelas X hingga kelas XII untuk menghadapi UN agar meraih kelulusan. Tetapi terkadang belajar “keras” tanpa dibarengi belajar dengan “cerdas” tidaklah cukup mengantarkan mereka menggapai target minimal kelulusan.

Salah satu cara yang dianggap sebagai belajar dengan “cerdas” dalam mempersiapakan diri menghadapi UN adalah dengan berlatih soal-soal, baik soal-soal UN tahun-tahun sebelumnya, soal-soal prediksi UN (bocoran soal-soal), atau soal-soal yang setaraf. Dengan berlatih soal-soal semacam itu para siswa diharapkan akan terbiasa dengan tipe soal atau masalah yang akan diujikan pada UN yang sesungguhnya. Dengan membiaskaan diri berlatih soal-soal semacam itu pula diharapkan mereka tentunya tidak kaget saat UN yang seriusnya.

Hal di atas adalah salah satu usaha jasmani yang harus dilakukan oleh para siswa. Lalu apakah cukup dengan usaha jasmani kah ? tentu tidak, selayaknya dan seharusnya para siswa untuk memulai melakukan usaha rohaniah, memohon ampunan, meningkatkan ibadah, menjauhi maksiat dan berdoa. Agar semua apa yang diharapkan mendapat pertolongan Allah dikala nanti melaksanakan Ujian Nasional yang mungkin dianggap menjadi beban bagi para siswa.

nah kalo gitu hal yang mesti kalian lakukan adalah belajar dengan sungguh-sungguh dan jangan lupa untuk berdo'a.

pertama buka kembali pelajaran-pelajaran yang sudah dipelajari dulu dikelas X maupun kelas XII.

kedua pelajari soal-soal bekas ujian tahun-tahun sebelumnya.

ketiga ikutilah pengayaan-penyaan yang telah disediakan oleh pihak sekolah.

keempat tinggalkanlah hal-hal yang tidak berguna atau yang membuat waktu tidak berguna, isilah waktu-waktu luang untuk belajar.

selanjutnya jangan lupa untuk selalu berdo'a, mohon restu orang tua dan tingglkanlah pekerjaan-pekerjaan maksiat.

Januari 21, 2009

Epistemologi

Islam & Barat

Oleh Zainal Fikri

Bagi pelajar, mahasiswa dan kalangan umum yang beragama Islam, yang membaca buku-buku, makalah dan bentuk tulisan lainnya tentang Filsafat “Ilmu” dalam bahasa Indonesia, mungkin menghadapi berbagai kerancuan dalam memahami kata-kata kunci seperti, “pengetahuan”, “ilmu”, “ilmu pengetahuan”.
Mulyadhi Kartanegara, peraih gelar doktor di bidang Filsafat Islam di Universitas Chicago, misalnya, agak keberatan dengan penerjemahan kata science menjadi ilmu dalam bahasa Indonesia, walaupun pada akhirnya ia setuju, namun ia memberikan beberapa syarat. Mulyadhi menulis:
“Kata science sebenarnya dapat saja diterjemahkan dengan ilmu. Seperti science, kata ‘ilm dalam epistemologi Islam, tidak sama dengan pengetahuan biasa, tetapi, seperti yang didefinisikan oleh Ibn Hazm (w. 1064 M), ilmu dipahami sebagai “pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya”, dan seperti science dibedakan dengan knowledge, ilmu juga dibedakan oleh para ilmuwan Muslim dengan opini (ra’y). Akan tetapi, di Barat ilmu dalam pengertian ini telah dibatasi hanya pada bidang-bidang ilmu fisik atau empiris, sedangkan dalam epistemology Islam, ia dapat diterapkan dengan sama validnya, baik pada ilmu-ilmu yang fisik-empiris maupun nonfisik atau metafisis… Oleh karena itu, menurut hematku, kita pada dasarnya bisa menerjemahkan kata science dengan ilmu, dengan syarat bahwa ilmu dalam epistemologi Islam tidak dibatasi hanya pada bidang-bidang fisik, seperti dalam epistemologi Barat.” (Mulyadhi Kartanegara. Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam. Mizan: Bandung, cet.I., 2002: 57-58)
Mengenai dua pertanyaan utama epistemology: (1) apa yang dapat kita ketahui dan (2) bagaimana mengetahuinya. Mulyadhi menyatakan bahwa dalam epistemology Barat hanya objek-objek fisik , bukan noninderawi, nonfisik, dan metasisika yang dapat diketahui secara ilmiah. Sedangkan dalam Islam baik objek-objek fisik dan objek-objek non-fisik dapat diketahui. Namun, Mulyadhi sendiri tidak menjelaskan apakah dalam Islam objek-objek non-fisik dapat diketahui secara ilmiah. Ia hanya menyatakan bahwa dalam Islam status ontologis dari objek-objek non-fisik yang tidak dapat ditangkap secara inderawi—konsep-konsep mental, metafisika, Tuhan, jin, malaikat, ruh—adalah real. Kalau begitu bagaimana cara mengetahuinya? Apakah dapat diketahui dengan observasi-empiris dalam Islam? Mulyadhi menyatakan bahwa hal-hal itu tidak dapat ditangkap secara inderawi (observasi empiris). Jadi, sebenarnya ia sepakat bahwa metode observasi-empiris tidak dapat mengetahui adanya, misalnya, Tuhan.
Sampai di sini, menurut hemat Saya, Mulyadhi sudah mulai rancu dalam membandingkan epistemologi Islam dan Barat. Ketika berbicara tentang status obtologis objek-objek non-fisik di Barat yang disorot adalah perspektif science, sehingga sudah dapat diduga bahwa objek non-fisik itu tidak dapat diketahui. Sedangkan ketika membahas status ontologisnya dalam epistemology Islam, Mulyadhi menggunakan perspektif rasional-logis.Tetapi, ia tidak membahas status ontologis objek itu dari perspektif epistemology rasional yang non-empiris yang berkembang di Barat. Seperti Dercartes, misalnya, yang menyatakan bahwa ruh adalah ada dan dapat diketahui secara rasional. Karena pertanyaan apakah Tuhan dapat diketahui secara rasional-logis adalah berbeda dari pertanyaan apakah Tuhan dapat diketahui secara observasi-empiris.
Saya kira yang menjadi persoalan adalah scienticism, yakni bahwa sesuatu dapat dikatakan ada jika hanya jika dapat diketahui dengan prinsip-prinsip science, yakni secara observasi, empiris, induktif.
Tentang metodologi, Mulyadhi dengan mengutip Ziauddin Sardar, menyatakan bahwa ilmuwan Barat hanya menggunakan satu metode ilmiah, yaitu observasi, sedangkan para pemikir Muslim menggunakan tiga macam metode sesuai dengan tingkat atau hierarki objeknya, yaitu: (1) metode observasi, sebagaimana yang digunakan di Barat, atau disebut bayani, (2) metode logis atau demonstratif (burhani), dan (3) metode intuitif (‘irfani), yang masing-masing bersumber pada indra, akal, dan hati. (Mulyadhi: 61)
“Epistemologi, atau teori pengetahuan, membahas secara mendalam segenap proses yang terlihat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang didapat melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Metode inilah yang membedakan ilmu dengan dengan buah pemikiran yang lainnya. Atau dengan perkataan lain, ilmu adalah pengetahuan yang diperoleh dengan menerapkan metode keilmuan. Karena ilmu merupakan sebahagian dari pengetahuan, yakni pengetahuan yang memiliki sifat-sifat tertentu, maka ilmu dapat juga disebut pengetahuan keilmuan. Untuk tujuan inilah, agar tidak terjadi kekacauan antara pengertian “ilmu” (science) dan “pengetahuan” (knowledge), maka kita mempergunakan istilah “ilmu” untuk “ilmu pengetahuan.” (Jujun Suriasumantri. “Tentang Hakekat Ilmu: Sebuah Pengantar Redaksi.” Dalam Jujun (ed.,) Ilmu Dalam Perspektif. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta, 2001; hal.9)
Sebelum penerjemahan kata science, dalam bahasa Indonesia tersedia dua pilihan kata, yakni pengetahuan dan ilmu. Yang berlaku umum, pilihan jatuh pada kata ilmu. Penerjemahan science menjadi ilmu dalam bahasa Indonesia berimplikasi pada perubahan makna ilmu menjadi science, bukan sebaliknya. Akibatnya, hal-hal yang sebelumnya disebut ilmu menjadi bukan ilmu atau belum menjadi ilmu dalam artian science. Kemudian scientific knowledge diterjemahkan menjadi ilmu pengetahuan atau pengetahuan ilmiah.
Penerjemahan model ini menimbulkan sejumlah kerancuan di kalangan umat Islam. Karena mereka sudah mempunyai istilah ilmu sebelum ada kata science yang tumbuh khas dengan observasi dan metode induksinya. Kerancuan ini tercermin dari munculnya beberapa pertanyaan seperti, “Apakah ilmu-ilmu agama adalah ilmu?” atau “Apakah ilmu kalam adalah ilmu? Atau “Apakah ilmu fiqh adalah ilmu?” Pertanyaan itu redundancy, yakni “Apakah ilmu adalah ilmu?” pertanyaan itu juga mengisyaratkan adanya makna ilmu yang berbeda. Ilmu yang statusnya belum dianggap ilmu dan ilmu yang statusnya telah dianggap ilmu atau ilmu yang perlu diuji dengan standar ilmu lain.
Yang lebih parah lagi adalah pertanyaan, “Apakah fiqh adalah ilmu?” atau “Apakah kalam adalah ilmu? Atau “Apakah tafsir adalah ilmu?” Dalam pertanyaan ini hanya ada satu makna ilmu.
Kerancuan-kerancuan itu dapat dihindari kalau kita tidak memaksa diri mencari kata bahasa Indonesia yang sudah ada untuk menerjemahkan kata science. Kita tetap pertahankan kata pengetahuan dan ilmu dan menambah kosa kata baru “sains” untuk bahasa Indonesia bagi science dan “saintifik” untuk kata sifat scientific.
Science sendiri dipakai untuk dalam dua pengertian. Pertama, science yang triadic terdiri dari ontology, epistemology dan aksiologi, yakni cabang science, yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi disiplin ilmu seperti fisika, kimia, biologi. Kedua, dalam artian yang metodis, yakni science atau scientific knowledge yang secara tradisional menggunakan metode induksi. Demarkasi antara science dan non-science secara tradisional biasanya pada metode induksi ini.
Dari sini pertanyaan “Apakah ilmu fiqh adalah ilmu?” Kita rubah menjadi “Apakah ilmu fiqh adalah sains atau non-sains?” Sebenarnya adalah ungkapan lain dari pertanyaan itu adalah “Apakah ilmu fiqh menggunakan metode induktif?” Jawabannya, menurut demarkasi tradisional adalah tergantung pada apakah ilmu fiqh menggunakan metode induksi atau tidak? Jika ilmu fiqh tidak menggunakan metode induksi, maka tidak dapat disebut sebagai sains dalam artian yang tradisional.
Klaim terhadap metode induksi dengan asumsi regularitasnya pada filsafat continental (Jerman) berbuah pada klaim bahwa pengetahuan tentang perilaku manusia tidak dapat disebut science. Karena perilaku manusia berubah-ubah.