Februari 14, 2009

Konstitusi dan Negara

BAB I

PENDAHULUAN

Dalam arti yang paling luas berarti Hukum Tata Negara, yaitu keseluruan aturan dan ketentuan (hokum) yang menggambarkan sistem ketatanegaraan suatu negara. Contoh: istilah Contitutional Law dalam bahasa Inggris berarti Hukum Tata Negara.Dalam arti sempit, berarti Undang-Undang Dasar, yaitu satu atau beberapa dokumen yang memuat aturan-atudan ketentuan-ketentuan yang bersifat pokok.

Konstitusi berkedudukan sebagai hukum dasar dan sekaligus hukum tertinggi dalam suatu negara. Konstitusi menjadi dasar dan sumber bagi peraturan perundangan lain yang ada dalam suatu negara. Konstitusi berkedudukan paling tinggi dalam tata urutan peraturan perundangan satu negara.

Konstitusi atau UUD mempunyai dua fungsi utama, yaitu menentukan dan membatasi kekuasaan penguasa negara dan penjamin hak-hak asasi manusia. Melalui pembagian kekuasaan negara, konstitusi menentukan dan membatasi kekuasaan penguasa, sedangkan melalui aturan tentang hak asasi, konstitusi memberi perintah agar penguasa negara melindungi hak-hak asasi manusia warga negara atau penduduknya.

Konstitusi atau UUD ada yang bersifat supel (bisa diubah oleh badan pembuat undang-undang), ada pula yang bersifat kaku (tidak diubah oleh badan pembuat undang-undang, karena memerlukan prosedur khusus yang lebih berat. Contoh: UUD 1945 adalah konstitusi yang kaku , karena hanya dapat diubah oleh MPR, bukan oleh lembaga legislatif sehari-hari di Indonesia, yaitu DPR bersama Presiden.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian

Menurut EC Wade : konstitusi adalah naskah yg memaparkan rangka dan tugas pokok dari badan-badan pemerintahan suatu negara dan menentukan pokok-pokok cara kerja badan itu. Herman Heller dalam bukunya Vervassunglehre : menamakan UUD sebagai riwayat hidup suatu hubungan kekuasaan. Herman Heller membagi Konstitusi dalam 3 tingkat: 1. Konstitusi sebagai pengertian politik, mencerminkan keadaan sosial politik suatu bangsa . Pengertian Hukum menjadi skunder, yang primer adalah bangunan masyarakat atau sering disebut political decision. Bangunan masyarakat sebagai hasil keputusan masyarakat. 2. Konstitusi sebagai pengertian hukum , keputusan masyarakat dijadikan perumusan yang normatif, yang harus berlaku. Dari pengertian ini timbul aliran kodifikasi menghendaki hukum tertulis untuk terciptanya kesatuan hukum, kesederhanaan hukum dan kepastian hukum. 3. konstitusi sebagai peraturan hukum, peraturan hukum tertulis. Dengan demikian UUD adalah bagian dari konstitusi tertulis. Menurut Carl schmitt:

  1. Konstitusi dalam arti absolut, mencakup seluruh keadaan dan struktur dalam negara. Hal ini didasarkan bahwa negara adalah ikatan dari manusia yang mengorganisir dirinya dalam wilayah tertentu. Konstitusi menentukan segala bentuk kerja sama dalam organisasi negara,. Sehingga konstitusi menentukan segala norma.
  2. Konstitusi dalam arti relatif, naskah konstitusi merupakan naskah penting yg sulit untuk diubah dan dengan sendirinya menjamin kepastian hukum. Konstitusi memuat hal-hal yang fondamental saja sehingga tidak absolut.
  3. Konstitusi dalam arti positif, konstitusi merupakan keputusan tertinggi dari pada rakyat.
  4. Konstitusi dalam arti ideal, konstitusi dapat menampung ide yg dicantumkan satu persatu sebagai isi konstitusi seperti pada konstitusi relatif.

B. Menilai konstitusi

1. konstitusi bernilai normatif, berarti secara hukum dia-kui dan dilaksanakan secara murni dan konsekwen ;

  1. konstitusi bernilai nominal, secara hukum konstitusi diakui kedudukannya sebagai konstitusi negara;
  2. konstitusi bernilai simpati, secara yuridis diakui dan tidak operasional. Konstitusi ini dikesampingkan oleh kebijakan lain.

C. Fungsi Konstitusi

  1. menentukan pembatasan terhadap kekuasaan sebagai suatu fungsi konstitusionalisme;
  2. memberikan legitimasi terhadap kekuasaan pemerintah;
  3. sebagai instrumnen untuk mengalihkan kewenangan dari pemegang kekuasaan asal (baik rakyat dalam sistem demokrasi atau raja dalam sistem monarki) kepada organ-organ kekuasaan negara;

D. Sifat Konstitusi

1. Formil dan materiil; Formil berarti tertulis. Materiil dilihat dari segi isinya berisikan hal-hal bersifat dasar pokok bagi rakyat dan negara. (sama dengan konstitusi dalam arti relatif).

2. Flexibel dan rigid, Kalau rigid berarti kaku suliot untuk mengadakan perubahan sebagaimana disebutkan oleh KC Wheare Menurut James Bryce, ciri flexibel a. Elastis. b. Diumumkan dan diubah sama dengan undang-undang.

3. Tertulis dan tidak tertulis

E. Cara Perubahan Konstitusi

1. Oleh Kekuasaan Legislatif

2. Oleh rakyat melalui referendum

3. Oleh sejumlah negara bagian

4. Dengan konvensi ketatanegaraan.

F. Hubungan Negara dengan Konstitusi

Mahkamah Konstitusi adalah institusi baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Institusi ini diadakan setelah dilakukannya perubahan atau amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Tepatnya diatur dalam pasal 24 ayat 2 yang menyatakan ''kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi".

Oleh karena itu, dalam membicarakan kedudukan dan peranan MK dalam sitem ketatanegaraan Indonesia saat ini tidak bisa dilakukan tanpa terlebih dahulu meninjau sistem ketatanegaraan yang berlaku sebelum dilakukan amandemen terhadap UUD 1945 itu.

Perubahan fundamental yang terjadi setelah dilakukannya amandemen terhadap UUD 1945 adalah berubahnya struktur dan mekanisme kerja lembaga-lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, yakni sistem yang bercorak vertical-hierakis menjadi horizontal-hierakis. Dalam sistem lama, yakni sistem yang bercorak vertical hierakis itu, lembaga-lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia disusun secara vertikal dan bertingkat dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) berada di struktur dan kedudukan sebagai lembaga tertinggi negara.

“Hubungan antara Negara dan Konstitusi. Menurut Walton H. Hamilton dengan paham konstitualisme. Konstitusi untuk pengaturan negara, sehingga dinamika kekuasaan dan proses pemerintahan dapat dibatasi dan dikendalikan.”

Di bawahnya terdapat sejumlah lembaga negara, yakni presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah Agung (MA) yang kedudukannya sederajat dan masing-masing diberi status sebagai lembaga tinggi negara.

MPR diberi kedudukan sebagai lembaga tertinggi negara karena (MPR) dikonstruksikan sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. MPR secara hipotetik dianggap sebagai penjelmaan seluruh rakyat adalah keanggotaan MPR itu terdiri atas anggota DPR ditambah dengan utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan yang diatur dengan undang-undang. Oleh karena MPR dianggap sebagai penjelmaan seluruh rakyat, maka kepadanya diberi kekuasaan yang hampir tak terbatas yaitu sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat.

Selanjutnya oleh karena MPR adalah pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat berarti seluruh kekuasaan dalam negara terpusat di MPR. Dengan kata lain, MPR-lah sumber dari seluruh kekuasaan yang ada di dalam negara. Dari sini kekuasaan itu dibagi-bagikan kepada lembaga-lembaga tinggi negara tadi, yakni Presiden, DPR, DPA, MA, dan BPK.

Inilah alasan sistem ketatanegaraan Indonesisa sebelum dilakukan amandemen pertama terhadap UUD 1945 juga disebut sebagai sistem ketatanegaraan dengan supremasi MPR atau sistem pembagian kekuasaan (division of power). Dengan kekuasaan yang besar itu dalam praktiknya, MPR bisa berada di atas Undang-Undang Dasar atau bahkan MPR sama dengan negara itu sendiri.

Atribut Kedaulatan Setelah dilakukan perubahan terhadap UUD 1945, keadaan itu berubah sama sekali. Tidak ada kualifikasi lembaga-lembaga negara ke dalam lembaga tertiggi dan tinggi negara. Semua lembaga negara kedudukannya sederajat. Lembaga-lembaga negara itu sesuai dengan fungsi-fungsinya. Memperoleh kedudukan dan kekuasaannya dari atau berdasarkan UUD dan pada saat yang sama dibatasi oleh UUD.

Dalam hal ini UUD 1945 yang telah mengalami perubahan atau amandemen itu. Kedaulatan rakyat tidak lagi diserahkan sepenuhnya kepada satu lembaga melainkan oleh UUD. Atribut kedaulatan itu disebar kepada lembaga-lembaga negara yang ada.

Mahkamah Konstitusi adalah bagian dari kekuasaan kehakiman, yaitu kekuasaan yang oleh UUD 1945 (yang telah diamandemen) diberi pengertian kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Makna kata-kata ''menegakkan hukum dan keadilan'' tersebut adalah berkait erat dengan paham negara hukum (rule of law).

Paham inilah yang dianut di Indonesia. Secara tegas oleh UUD 1945 pasal 1 ayat 3 menyatakan ''Indonesia adalah negara hukum''. Sejauh ini diketahui ada tiga prinsip dasar yang berlaku dalam tiap negara hukum, yakni supremacy of law (supremasi hukum), equality before law (persamaan atau kesederajatan di hadapan hukum), due process of law (penegakan hukum yang tidak boleh dilakukan dengan melanggar hukum dengan melanggar hak-hak asasi manusia). Dari ketiga prinsip inilah kemudian diturunkan ciri-ciri yang secara umum digunakan sebagai indikator bahwa suatu negara menganut paham negara hukum, yakni adanya legalitas dalam arti hukum bahwa tindakan negara maupun warga negara harus didasarkan atas dan melalui hukum.

Adanya pemisahan kekuasaan dalam negara, dalam arti bahwa kekuasaan negara itu tidak terpusat di satu tangan. Adanya kekuasaan kehakiman atau peradilan yang merdeka, dan adanya jaminan atau peradilan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Selain itu, ciri ini harus ada dalam konstitusi atau undang-undag suatu negara yang menganut paham negara hukum. Oleh karena konstitusi atau Undang-Undang Dasar adalah hukum dasar yang meladasi keseluruhan sistem hukum yang berlaku di suatu negara yang menganut paham negara hukum, maka "menegakkan hukum dan keadilan" adalah berarti menegakkan ketiga prinsip itu dalam kehidupan bernegara.

Hal itu baru bisa dicapai, terutama apabila seluruh ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara benar-benar mengacu dan tidak bertentangan dengan konstitusi atau UUD yang berlaku di negara itu. Ini sesungguhnya yang menjadi tugas utama Mahkamah Konstitusi yakni menjaga atau menjamin terselenggaranya konstitusionalitas hukum. Oleh karena itu, betapapun beragamnya kekuasaan untuk menegakkan prinsip konstitusionalitas hukum ini telah menjadi ciri umum yang berlaku di setiap negara yang memiliki MK dalam sistem ketatanegaraannya, terlepas dari soal apakah lembaga itu secara tegas disebut MK atau diberi sebutan lainnya.

UUD 1945 memberikan kewenangan kepada MK untuk melakukan pengujian secara material undang-undang, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan tentang sengketa pemilihan umum, dan memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden atau Wakil Presiden. (Pasal 24 C ayat 1 dan 2).

Sementara setelah amandemen, pengertian menegakkan hukum dan keadilan menjadi lebih luas. Bukan hanya meliputi soal-soal yang termasuk dalam "wilayah" empat lingkungan peradilan tadi, melainkan upaya untuk menegakkan prinsip konstitusionalitas hukum. Bersamaan dengan itu, UUD 1945 juga membagi kewenangan yang ada di dalam kekuasaan kehakiman itu.

Terhadap persoalan-persoalan yang berada dalam ruang lingkup lingkungan peradilan umum, militer, agama dan tata usaha negara, wewenangnya diberikan kepada MA dan pengadilan-pengadilan yang ada di bawahnya. Sedangkan terhadap persoalan-persoalan yang langsung berhubungan dengan UUD kewenangannya diberikan kepada MK.

Perbedaan lainnya, sebagaimana tampak dalam uraian di awal tulisan ini, adalah kerangka teoretisnya. Sebelum amandemen, kedudukan kekuasaan kehakiman adalah diturunkan dari atau sebagai bagian dari pendistribusian kekuasaan yang diberikan oleh MPR (yang dengan demikian sesungguhnya berarti bertentangan dengan penjelasan UUD 1945 tetapi sekaligus juga bertentangan dengan hakikat kekuasaan kehakiman dalam sebuah negara yang menganut paham negara hukum yang menghendaki kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka).

Setelah amandemen, kekuasaan kehakiman benar-benar diberi kualitas sebagai kekuasaan yang merdeka dalam rangka menegakkan prinsip-prinsip negara hukum dan kewenangan itu langsung diperoleh dari UUD, bukan dari lembaga lain yang dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi.

Peranan MK sebagai institusi yang menegakkan prinsip konstitusionalitas hukum juga dapat dilihat dalam konteks sistem pemerintahan yang dianut UUD 1945. Diketahui empat ciri yang lazim ditemukan dalam sistem ini, yakni adanya masa jabatan presiden yang bersifat pasti (fixed executive system atau fixed term). Kepala negara adalah sekaligus kepala pemerintahan, adanya mekanisme saling mengawasi dan saling mengimbangi (checks and balances), serta adanya mekanisme impeachment.

Sebagaimana dimaklumi, dalam sistem presidensial, impeachment dikatakan sebagai exceptional clause terhadap syarat fixed term. Maksudnya, pada dasarnya dalam sistem ini seorang presiden tidak dapat diberhentikan di tengah jalan atau sebelum masa jabatannya habis, sebab ia dipilih langsung oleh rakyat. Namun, sesuai dengan prinsip supremacy of law dan eguality before law, ia tetap bisa diberhentikan apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum sebagaimana yang ditentukan dalam UUD.

Tetapi proses pemberhentian itu sendiri juga tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum, khususnya eguality before the law dan due process of law. Artinya, sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan seorang presiden bersalah, ia tidak bisa diberhentikan. Pengadilan yang dimaksud dalam hal ini adalah MK.


BAB III

PENUTUP

Konstitusionalisme Keseluruhan prinsip negara hukum haruslah dirumuskan dalam konstitusi, baik dalam arti tertulis dalam satu naskah UUD ataupun dalam arti tidak tertulis dalam satu naskah seperti Kerajaan Inggeris yang meskipun tidak
memiliki naskah UUD tetap disebut sebagai ‘constitutional state’,
‘constitutional monarchy’. Paham konstitusional ini dalam sejarah pemikiran
hukum tata negara biasa disebut dengan konstitusionalisme yang di zaman
sekarang ini dianggap sebagai satu konsep yang niscaya bagi setiap negara
modern. Seperti dikatakan oleh C.J. Friedrich, “constitutionalism is an
institutionalized system of effective, regularized restraints upon governmental
action”. Basis pokoknya adalah kesepakatan umum atau persetujuan (consensus) di antara mayoritas rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan
Negara. Organisasi Negara itu diperlukan oleh warga masyarakat politik agar
kepentingan mereka bersama dapat dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme yang disebut Negara.

Hubungan antara Negara dan Konstitusi. Menurut Walton H. Hamilton dengan paham konstitualisme. Konstitusi untuk pengaturan negara, sehingga dinamika kekuasaan dan proses pemerintahan dapat dibatasi dan dikendalikan.


DAFTAR PUSTAKA

http://www.balipost.co.id/BALIPOSTCETAK/2003/8/16/pol3.htm

http://yanel.wetpaint.com/page/Negara+dan+Konstitusi?t=anon

http://zanikhan.multiply.com/journal/item/1531

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kasih comment key !!!!!